The Shattered Light-Chapter 58: – Perjalanan Tanpa Arah

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 58 - – Perjalanan Tanpa Arah

Matahari mulai meninggi di ufuk timur, sinarnya yang hangat gagal mengusir hawa dingin yang menyelimuti rombongan kecil itu. Kaelen berjalan di depan, langkahnya berat, pikirannya kosong. Setiap jengkal tanah yang ia lalui terasa asing, seolah ia telah kehilangan arah—bukan hanya di dunia ini, tetapi juga dalam dirinya sendiri.

Di belakangnya, Lyra dan Varrok berjalan dalam diam. Hanya suara ranting patah dan desir angin yang menemani mereka. Lyra sesekali melirik Kaelen dengan khawatir, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata rasanya tidak akan cukup untuk menjangkau Kaelen yang semakin tenggelam dalam bayangannya sendiri.

"Kita tidak bisa terus berjalan tanpa tujuan," akhirnya Varrok berbicara, memecah keheningan. "Ordo Cahaya mungkin sedang menyusun kembali pasukannya. Kita harus menemukan tempat untuk berlindung dan menyusun strategi."

Kaelen tidak menjawab. Sebuah denyut tajam menusuk kepalanya, membuatnya mengernyit sesaat. Ia tetap menatap lurus ke depan, seolah tidak mendengar, tetapi di dalam benaknya, ada sesuatu yang berusaha keluar—sebuah bayangan yang tidak bisa ia tangkap.

"Kaelen," Lyra memanggil, suaranya lembut tetapi tegas. "Kita harus membuat rencana. Serina... dia tidak akan mau kita bertindak tanpa arah."

Nama itu membuat Kaelen berhenti sejenak. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar, tetapi ketika ia mencoba menggali lebih dalam, yang ia temukan hanyalah kekosongan. Ia berbalik, menatap Lyra dengan ekspresi datar.

"Kau menyebut nama seseorang yang tidak aku kenal," katanya, suaranya dingin.

Lyra menegang. "Jangan bicara seperti itu. Serina—"

"Sudah cukup," Kaelen memotong, ekspresinya berubah tajam. "Aku tidak ingin mendengar nama itu lagi. Jika aku tidak mengingatnya, maka dia bukan bagian dari hidupku lagi."

Lyra terdiam, rahangnya mengeras. Ia ingin berdebat, ingin memukul Kaelen agar dia sadar, tetapi yang bisa ia lakukan hanyalah mengepalkan tangannya. Varrok meletakkan tangan di bahunya, mencoba menenangkan.

"Kita harus terus bergerak," kata Varrok. "Ada desa kecil di perbatasan hutan. Kita bisa mencari tempat berlindung di sana."

Kaelen mengangguk tanpa emosi dan kembali berjalan. Namun, di dalam dirinya, ada sesuatu yang menggelitik kesadarannya. Sebuah perasaan kehilangan yang ia tidak mengerti, seolah ada sesuatu yang berharga telah diambil darinya, tetapi ia tidak tahu apa.

The source of this c𝐨ntent is freeweɓnovēl.coɱ.

Desa kecil itu tampak sunyi ketika mereka tiba. Ada ketegangan di udara, seolah penduduknya tahu lebih banyak daripada yang mereka tunjukkan. Beberapa orang mengintip dari balik jendela, mengawasi mereka dengan curiga. Rumah-rumah kayu sederhana berjajar di sepanjang jalan tanah, dan hanya beberapa penduduk yang terlihat, menatap mereka dengan waspada.

"Kita tidak boleh menarik perhatian," bisik Varrok. "Ordo Cahaya bisa saja memiliki mata-mata di sini."

Kaelen mengangguk, membiarkan Varrok yang berbicara dengan kepala desa sementara ia dan Lyra menunggu di luar. Lyra menatapnya dari samping, mencoba menemukan jejak emosi di wajahnya, tetapi yang ia lihat hanyalah kekosongan.

"Aku tahu kau masih bisa merasakan sesuatu," kata Lyra tiba-tiba. "Meskipun kau tidak mengingat Serina, aku tahu ada sesuatu di dalam dirimu yang menyadari kehilangannya."

Kaelen tidak menoleh. "Kau salah."

"Kaelen, lihat aku," desak Lyra. "Aku tidak akan membiarkanmu menghapus semuanya begitu saja. Ini bukan hanya tentang ingatanmu. Ini tentang siapa dirimu. Jika kau terus membiarkan kekuatanmu menggerogotimu, kau tidak akan memiliki apa pun yang tersisa."

Kaelen akhirnya menatapnya, matanya penuh dengan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. "Dan jika aku memang kehilangan semuanya? Jika aku bukan lagi orang yang dulu kau kenal?"

Lyra tersenyum miris. "Maka aku akan terus mengingatmu, bahkan jika kau lupa segalanya."

Sebelum Kaelen bisa membalas, Varrok keluar dari rumah kepala desa. "Kita bisa bermalam di sini, tapi kita harus pergi sebelum fajar. Kita terlalu dekat dengan wilayah yang dikuasai Ordo Cahaya."

Kaelen mengangguk, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh kata-kata Lyra. Ia tidak bisa menjelaskan kenapa, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang menginginkan agar ia bisa mengingat.

Saat malam tiba dan mereka beristirahat, Kaelen duduk sendirian di bawah pohon. Tangannya tanpa sadar bergerak ke gagang pedangnya, jemarinya mengusap ukiran di sana. Ada sesuatu yang familiar dalam sentuhan itu, sesuatu yang mengingatkannya pada seseorang, tetapi semakin ia mencoba mengingat, semakin kuat sakit di kepalanya. Ia menutup matanya, mencoba merasakan apa pun yang bisa menghubungkannya dengan masa lalunya yang hilang.

Lalu, dalam bayangan pikirannya, suara lembut terdengar, samar dan jauh.

"Kaelen... jangan lupakan aku..."

Matanya terbuka dengan cepat, napasnya tersengal. Dadanya naik turun, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia melihat sekeliling, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Namun, untuk sesaat, ia bisa bersumpah bahwa ia merasakan seseorang di dekatnya—kehadiran yang begitu akrab, begitu hangat, namun kini hanya meninggalkan kehampaan.

Namun, untuk pertama kalinya sejak kehilangan ingatannya, ia merasa ada sesuatu yang masih tersisa.

Dan itu membuatnya takut.