The Shattered Light-Chapter 26: – Serangan ke Pos Perbatasan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 26 - – Serangan ke Pos Perbatasan

Pagi menyapa dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Kaelen membuka mata, menatap langit yang mulai cerah. Di sekitarnya, rekan-rekannya masih terlelap, kecuali Varrok yang sudah berjaga di ujung tebing. Suara angin menggoyang dedaunan tipis, membawa bisikan samar yang membuat Kaelen sadar, hari ini akan menjadi awal yang baru dalam perjuangan mereka.

"Sudah waktunya bergerak," ujar Varrok ketika Kaelen menghampirinya.

Kaelen mengangguk. Mereka akan menuju pos perbatasan Ordo Cahaya hari ini. Itu adalah target pertama mereka—penyerangan awal untuk menunjukkan bahwa Bayangan Malam telah bangkit melawan tirani cahaya.

Saat sarapan seadanya selesai, Varrok mengumpulkan semua.

"Kita akan menyerang pos penjagaan di perbatasan utara. Itu titik strategis untuk menghambat pergerakan Ordo Cahaya ke desa-desa sekitar. Kita harus cepat, tepat, dan senyap. Kesalahan sekecil apa pun bisa membawa kematian. Mengerti?" ucap Varrok tegas.

Semua mengangguk. Sorot mata mereka dipenuhi tekad. Ketegangan menyelimuti udara di antara mereka.

Perjalanan menuju pos memakan waktu setengah hari. Mereka bergerak melalui jalur-jalur tersembunyi yang hanya diketahui penduduk lama. Sesekali, Kaelen melirik Lyra dan Serina. Keduanya tampak tegang, tetapi tetap fokus. Kaelen tahu, misi ini berbahaya, dan kesalahan kecil bisa merenggut nyawa. Lyra menggenggam gagang belati di pinggangnya erat-erat, sementara Serina sesekali meraba ujung anak panah di tabungnya, seolah memastikan senjatanya siap setiap saat.

Ketika mereka tiba di titik pengamatan, pos Ordo Cahaya terlihat jelas di bawah sana. Sebuah bangunan batu sederhana dengan menara pengawas. Enam prajurit berjaga di luar, dan kemungkinan lebih banyak di dalam.

Varrok memberi isyarat. "Serina, kau urus penjaga di menara. Darek, Aria, siapkan pengalih perhatian. Kaelen, kau ikut aku. Kita habisi yang di pintu depan. Semua paham?" Mereka mengangguk tanpa suara.

Serina mengangkat busurnya. Nafasnya ditahan, fokus. Anak panah dilepaskan, tepat mengenai leher penjaga di menara. Tubuhnya roboh tanpa suara, jatuh ke bawah tanpa sempat memperingatkan siapa pun.

Darek dan Aria mulai melempar batu ke sisi lain pos, menciptakan bunyi-bunyian yang membuat dua prajurit bergerak memeriksa. Mereka membawa obor, terlihat waspada namun tidak menduga ada bahaya besar.

"Sekarang!" bisik Varrok.

Kaelen dan Varrok menerjang. Pedang Kaelen menebas prajurit pertama di leher. Darah hangat menyembur mengenai tangannya. Varrok menusuk lawannya di dada, membuatnya jatuh seketika dengan mata terbelalak.

Teriakan tertahan terdengar. Dua prajurit yang tersisa berbalik, namun Serina kembali melesatkan anak panah, menewaskan satu lagi. Kaelen berhadapan dengan prajurit terakhir. Mereka saling bertukar serangan. Pedang beradu. Kaelen merasakan kekuatan gelap dalam dirinya kembali bergetar, meminta dilepaskan. Bisikan itu muncul lagi di benaknya, menjanjikan kemenangan cepat.

"Tidak..". Ia menahan dorongan itu.

Dengan gerakan cepat, ia menghindar dan menusuk perut lawannya. Prajurit itu ambruk dengan erangan lirih.

Sunyi.

Mereka berkumpul di tengah pos. Semua prajurit telah dilumpuhkan. Napas mereka terengah. Mata masing-masing saling menatap, memastikan semua baik-baik saja.

Varrok memeriksa bangunan. Tidak ada yang tersisa. Ini kemenangan kecil, tetapi berarti besar. Itu adalah langkah pertama mereka dalam membangkitkan harapan bagi rakyat yang tertindas.

Kaelen berdiri di tengah genangan darah. Ada rasa puas, namun juga kekosongan yang menyusup. Ia menatap tangannya yang berlumuran darah, bertanya-tanya apakah ini memang jalan yang harus ia tempuh.

New novel 𝓬hapters are published on freёwebnoѵel.com.

Lyra menghampirinya. "Kau baik-baik saja?" suaranya lembut, penuh kekhawatiran.

Kaelen menatapnya, lalu tersenyum kecil meski dalam hatinya bergejolak. "Ya. Kita berhasil."

Serina melihat mereka dari kejauhan. Ada kelegaan di wajahnya, tetapi juga kegelisahan yang ia simpan sendiri. Setiap kali melihat kedekatan Kaelen dan Lyra, hatinya semakin berat.

Saat mereka bersiap membakar pos sebagai tanda pemberontakan, Kaelen merasakan sesuatu yang ganjil. Sebuah kilasan wajah ibunya melintas di pikirannya—namun samar, seperti mulai memudar. Senyumnya yang dulu begitu jelas, kini seperti dilapisi kabut.

Ia tertegun.

Apakah itu dampak dari kekuatan gelap yang terus menggoda dirinya? Atau hanya ketakutan yang lahir dari dendam berkepanjangan?

Api mulai membakar bangunan. Asap membumbung tinggi. Itu adalah sinyal bagi Ordo Cahaya bahwa perlawanan telah dimulai.

Kaelen menatap api itu. Perasaan lega bercampur cemas memenuhi dadanya. Ia tahu, ini baru awal. Balas dendam telah menuntunnya sejauh ini, tetapi harga yang harus dibayar mungkin lebih besar dari yang ia bayangkan.

Perjalanan balas dendam ini baru saja dimulai.